MUNGKIN karena saya sedang berada di Madinah, sehingga saya ingin menyampaikan persoalan Konstitusi dan Undang-Undang melalui tulisan terbuka ini. Karena Kota Madinah memberi inspirasi tentang sistem pemerintahan masyarakat madani. Yang rahmatan lil alamin.
Tetapi melalui tulisan ini, tentu saya tidak membahas soal Madinah. Saya ingin membahas tentang negeri tercinta saya. Tanah Airku, Indonesia. Negeri yang lahir dari sebuah peradaban yang besar di masa lampau. Negeri para wali, raja dan sultan serta pejuang-pejuang besar di jamannya. Negeri yang oleh para pendiri bangsa dicita-citakan mampu mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Cita-cita yang tertulis sangat jelas di Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan dipayungi oleh Lima Sila dalam Pancasila. Yang sayangnya, hingga hari ini belum terwujud. Bahkan sejak reformasi, rasanya cita-cita tersebut semakin menjauh. Karena bangsa ini semakin dicengkeram oleh segelintir elit ekonomi dan elit politik. Yang melakukan kudeta merangkak dan sistemik melalui Undang-Undang yang dilahirkan.
Undang-Undang yang faktanya menguntungkan kelompok atau golongan, dan merugikan rakyat, disinyalir cukup banyak. Dalam forum Eksekutif Brief minggu lalu, ekonom Ichsanuddin Noorsy menyatakan, ada 100 lebih produk Undang-Undang yang semestinya dilakukan judicial review atau bahkan dibatalkan. Jika kita ingin konsisten mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa. Ini tentu bukan main-main. Pekerjaan mulia sekaligus pekerjaan agung yang harus kita kerjakan, demi masa depan anak cucu kita.
Sebenarnya negeri ini telah memiliki perangkat dalam sistem tata negara untuk melakukan itu. Untuk menjaga negara ini dari produk Undang-Undang yang mencelakakan atau merugikan rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan negeri ini. Yaitu: Mahmakah Konstitusi. Yang bertugas melakukan koreksi bahkan membatalkan produk Undang-Undang yang bertentangan dengan Konstitusi.
Tetapi dalam beberapa kasus, Mahkamah Konstitusi justru memutuskan bahwa Undang-Undang yang diuji tersebut sebagai bentuk open legal policy, atau kewenangan terbuka bagi pembuat Undang-Undang, yaitu DPR RI dan Pemerintah.
Bahkan tidak jarang Mahkamah Konstitusi tidak memeriksa pokok materi, karena penguji gugur terlebih dahulu, karena dinilai tidak memiliki kedudukan hukum atau tidak berkepentingan dan tidak dirugikan terhadap gugatan yang diajukan.
Saya akan memberi contoh kasus yang spesifik terhadap fenomena yang saya sebut di atas. Yaitu pengujian atau judicial review atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pasal 222 tersebut adalah Pasal yang mengatur adanya Ambang Batas Pencalonan pasangan Capres dan Cawapres yang dapat diusung partai politik. Atau dikenal dengan istilah Presidential Threshold. Dimana dalam Pasal 222 disebutkan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang dapat mengusung pasangan Capres dan Cawapres harus memiliki paling sedikit 20 persen kursi di DPR RI atau 25 persen perolehan suara nasional yang sah.
Dan dalam Pasal 222 tersebut, basis perolehan kursi atau suara nasional tersebut didasarkan pada basis suara pada pemilu sebelumnya. Atau suara 5 tahun sebelumnya. Sehingga dalam Pilpres 2019 lalu, basis suara yang digunakan adalah basis suara Pemilu Legislatif tahun 2014. Sedangkan pada Pilpres 2024 mendatang, basis suara yang digunakan adalah basis suara Pemilu Legislatif 2019 lalu.
Pasal ini sungguh kacau. Selain tidak derifatif (tidak ada cantolannya) di Undang-Undang Dasar, juga menyebabkan persoalan-persoalan serius kebangsaan kita sebagai negara.
Bahkan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut, hanya gara-gara adanya Pasal 222 itu, bisa menyebabkan negara ini lumpuh atau mengalami persoalan serius dalam sistem tata negara. Karena melalui Pasal 222 tersebut, Pemilihan Presiden bisa gagal dilaksanakan. Dan negara ini akan berada dalam situasi stuck atau mengalami kebuntuan. Ini sangat serius. Saya akan jelaskan di sini.
Sebuah Undang-Undang sedikitnya harus memenuhi tiga unsur hakiki hukum. Yaitu; Satu, Undang-Undang yang dihasilkan harus predictability atau bisa memprediksi kemungkinan yang terjadi pada masa yang akan datang. Harus bisa menjawab secara utuh. Sehingga menjadi obat. Bukan malah menjadi penyakit. Atau justru membuka peluang timbulnya persoalan.
Kedua, Undang-Undang harus bisa menciptakan stability atau keseimbangan. Dan ketiga, Undang-Undang harus mengandung unsur fairness. Ini mutlak, karena hakikat hukum dan Undang-Undang adalah keadilan.
Tetapi, akibat adanya Pasal 222 dalam Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilu telah menjadikan Undang-Undang tersebut tidak memenuhi unsur hakiki dari hukum yang mutlak harus ada.
Bahkan, atas keberadaan Pasal 222 tersebut, saya dan ratusan juta rakyat Indonesia sebagai peserta Pemilihan Presiden bisa Kehilangan Hak Pilih karena Negara ini bisa dan sangat berpeluang berada dalam keadaan stuck atau macet, akibat penerapan Pasal 222 tersebut. Karena Undang-Undang Pemilu tidak bisa menjawab kemungkinan yang terjadi pada masa yang akan datang, hanya gara-gara satu Pasal itu.
Tolong dicatat dengan baik. Mengapa saya katakan bahwa akibat adanya Ambang Batas Pencalonan Presiden dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu dapat membuat Negara ini berhenti. Dan sistem tata negara kita bisa stuck dan macet.
Pertama; Apabila Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 dan selanjutnya masih memberlakukan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, maka bukan hanya Pemohon yang akan kehilangan kesempatan untuk memilih Capres dan Cawapres, tetapi juga bisa jadi pemilihan Capres dan Cawapres tidak dapat dilaksanakan bila: Gabungan Partai Politik yang mengusung Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden mencapai jumlah kursi DPR 80,1 persen atau 75,1 persen suara sah secara nasional. Sehingga hanya akan ada satu Pasangan Capres dan Cawapres yang memenuhi syarat untuk mendaftar. Karena jumlah kursi yang tersisa hanya 19,9 persen, atau suara sah secara nasional tersisah 24,9 persen. Sedangkan syarat untuk mengusung calon minimal 20 persen kursi atau 25 perses suara sah nasional.
Sedangkan Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilu hanya mengantisipasi apabila salah satu dari dua pasangan Capres dan Cawapres berhalangan tetap. Sehingga pada akhirnya Pemilihan Presiden dilaksanakan dengan mekanisme Satu Pasangan Capres dan Cawapres melawan Kotak Kosong.
Artinya, sejak awal pasangan yang mendaftar dan diterima oleh KPU adalah dua pasang. Bukan satu pasang. Sehingga aturan yang ada di dalam Undang-Undang tentang Pemilu itu mendalilkan bahwa pasangan calon selalu lebih dari satu. Alias minimal dua pasang calon.
Karena Undang-Undang Pemilu sama sekali tidak mengantisipasi apabila Pendaftar hanya Satu Pasang Calon. Sehingga dalam Undang-Undang Pemilu Pasal 229 Ayat 2 huruf (a dan b), disebutkan:
(2) KPU menolak pendaftaran Pasangan Calon dalam hal:
a. pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan dari seluruh Partai Politik Peserta Pemilu; atau
b. pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan partai politik Peserta Pemilu yang mengakibatkan gabungan Partai Politik Peserta Pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan Pasangan Calon.
Tetapi sebaliknya, Pasal 222 Undang-Undang Pemilu memberi ruang untuk itu. Terutama bila partai politik kompak untuk berkongsi dengan hasil seperti itu. Bukankah selama ini sudah terbukti, kalau partai politik kompak, semua bisa terjadi?
Dan faktanya, hari ini, komposisi partai politik pendukung pemerintah di DPR RI telah mencapai jumlah 82 persen dengan bergabungnya Partai Amanat Nasional ke koalisi pemerintah. Sehingga hanya menyisakan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, yang total jumlah kursinya hanya 18 persen. Ini fakta yang bisa terjadi bila kesepakatan ini terus berlangsung dan ada yang mempertahankan.
Ini artinya, terbuka peluang terjadinya sistem tata negara menjadi stuck dan macet. Dan saya, serta ratusan juta rakyat pemilih bisa seketika kehilangan hal pilih dalam Pilpres, karena kebuntuan ini. Karena Pilpres bisa tidak dapat dilaksanakan.
Dan dapat didalilkan bahwa ini adalah jalan keluar yang bisa dilakukan untuk melakukan operasi penundaan Pilpres, hanya dengan modal kesepakatan dan kongsi antar Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.
Kedua; Pasal 222 dan Undang-Undang Pemilu juga tidak mengantisipasi apabila dalam Pemilihan Legislatif pada tahun 2024 nanti, terdapat Partai Politik yang meraup atau memperoleh suara sebesar 75,1 persen suara sah secara nasional.
Seperti pernah terjadi pada Pemilihan Umum Tahun 1997, dimana Golongan Karya saat itu memperoleh Suara Nasional sebesar 74,51 persen. Sedangkan Partai Persatuan Pembangunan memperoleh suara 22,43 persen dan Partai Demokrasi Indonesia memperoleh 3,6 persen suara.
Lantas, bagaimana dengan Pilpres Tahun 2029 mendatang? Dimana dengan menggunakan Basis Suara Perolehan Pemilu Legislatif Tahun 2024, yang mana hanya ada satu partai politik yang dapat mencalonkan Pasangan Capres dan Cawapres?
Jadi sekali lagi, artinya Undang-Undang Pemilu, terutama dengan keberadaan Pasal 222 menjadikan Undang-Undang ini tidak bisa menjawab kemungkinan yang dapat terjadi pada masa yang akan datang.
Sangat jelas produk hukum tersebut, Pasal 222, membahayakan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara serta ketatanegaran dengan memberi dan membuka kesempatan untuk menimbulkan persoalan Tata Negara yang sangat SERIUS !
Saya selalu mencoba untuk berpikir positif: bahwa pasti Yang Mulia, para Hakim Konstitusi, sebagai penjaga Konstitusi dan Marwah Tata Negara Indonesia sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tentang Ambang Batas Pencalonan Presiden adalah Pasal yang bukan saja bertentangan dengan Konstitusi, tetapi dapat berpotensi merusak dan menimbulkan kekacauan Tata Negara bangsa ini, dan dapat mengancam Tujuan serta Cita-Cita Nasional Negara ini seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar kita.
Sehingga bukan saja bertentangan dengan Konstitusi, tetapi juga bertentangan dengan Pancasila. Sehingga Pasal 222 tersebut dapat saya sebut sebagai Pasal yang membuka peluang untuk melakukan Tindakan Subversif tehadap negara ini.
Yang Ketiga; Sudah sangat jelas bahwa tujuan dan maksud lahirnya partai politik. Termasuk kewajiban partai politik untuk ikut mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka dalam mengusulkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, partai politik juga mutlak memperhatikan kemampuan pihak yang diajukan sebagai capres dan cawapres.
Karena rakyat sebagai pemberi mandat kepada pasangan capres dan cawapres melalui Pilpres hanya dapat melakukan evaluasi lima tahun sekali.
Di sinilah benang merah, mengapa selalu lahir partai politik baru peserta Pemilu. Karena pada hakikatnya, partai politik baru adalah bagian dari proses koreksi terhadap partai politik sebelumnya, yang dinilai gagal menempatkan kadernya sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki kemampuan dan kecakapan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam kerangka cita-cita dan tujuan nasional seperti termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945.
Sehingga, sebagian rakyat, bersepakat mendirikan partai politik baru, dengan tujuan tentu untuk mengajukan pasangan Capres dan Cawapres yang lebih baik dari yang terpilih sebelumnya.
Dan lebih ekstrim dapat dikatakan lahirnya partai politik baru juga sebagai anti-thesa dari partai-partai politik yang sudah ada. Karena partai politik lama atau eksisting menjadi sorotan rakyat dalam dinamika politik tanah air.
Baik dikarenakan kelemahan sikap yang kerap dituding akibat tersandera dalam kekuasaan, maupun sikap egoistis partai politik yang mengakibatkan tidak menjadi problem solver bagi masalah-masalah bangsa yang disuarakan oleh rakyat.
Lahirnya partai politik baru salah satunya adalah sebuah tawaran jawaban atas hal tersebut di atas. Tentu demi menghindarkan bangsa ini dari sikap muak kepada partai politik, yang ujungnya adalah meningkatnya angka non-voters atau golput.
Sehingga partai politik baru bersemangat untuk bisa menutup kelemahan partai politik yang lama dengan energi dan harapan baru. Termasuk kesiapan mereka untuk mengajukan atau mengusulkan pasangan Capres dan Cawapres dalam kontestasi Pilpres.
Di sinilah muncul permasalahan kebangsaan ini, akibat adanya Pasal 222 UU 7/2017. Dimana Partai Politik (baru) peserta Pemilu tidak dapat mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden karena belum memiliki basis suara pada Pemilu sebelumnya.
Sehingga harapan dan tumpuan rakyat kepada Partai Politik baru sebagai saluran evaluasi terhadap kepemimpinan nasional, Presiden dan Wakil Presiden pupus.
Padahal jelas, Konstitusi kita di Pasal 6A Ayat (2) mengamanatkan: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Tetapi faktanya, Pasal 222 telah menabrak Pasal 6A Ayat (2) tersebut dengan membuktikan sebaliknya, bahwa: tidak semua partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mengusulkan pasangan Capres dan Cawapres.
Keempat; Jadi kalau ditimbang dari sisi manfaat dan mudaratnya, Presidential Thresholod ini penuh dengan mudarat. Karena Ambang Batas pencalonan presiden itu juga menyumbang polarisasi yang tajam di masyarakat, akibat minimnya jumlah calon, terutama dalam dua kali Pilpres, dimana kita hanya dihadapkan dengan 2 pasang calon saja.
Hal itu diperparah dengan semangat antar kelompok untuk selalu melakukan Anti-Thesa atas output pesan yang dihasilkan. Apakah itu dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah lagi dengan pola komunikasi elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi di masyarakat.
Hingga puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan Vis-à-vis Pancasila dengan Agama. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat Anti-Thesa, untuk menjelaskan identitas dan posisi. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Agama apapun, termasuk Islam.
Dan kita sebagai bangsa disuguhi kegaduhan nasional yang panjang. Disuguhi pertunjukkan drama kolosal yang sangat tidak bermutu. Dimana sesama anak bangsa saling melakukan persekusi. Saling melaporkan ke ranah hukum.
Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Dan semakin menjadi lebih parah, ketika ruang-ruang dialog yang ada juga semakin dibatasi dan dipersekusi. Baik secara frontal oleh pressure group, maupun dibatasi secara resmi oleh institusi negara.
Kita menyaksikan sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran forum pertemuan dan lain sebagainya, yang sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi. Tetapi lebih kepada tradisi bar-bar.
Inilah dampak buruk dari penerapan Ambang Batas Pencalonan Presiden, atau dalam kasus tertentu juga terjadi di ajang pemilihan kepala daerah. Dimana rakyat dihadapkan hanya kepada dua pilihan.
Jadi, benar apa yang dikatakan Yang Mulia Majelis Hakim Saldi Isra dan Suhartoyo pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-XV/2017, bahwa dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan Ambang Batas dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi, jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial. Padahal, salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem pemerintahan presidensial Indonesia.
Jadi, saya hanya mengingatkan Yang Mulia para Hakim Mahkamah Konstitusi, bahwa anda dengan saya, sebagai pejabat negara sama-sama disumpah dengan menyebut nama Tuhan. Sehingga, apa yang kita kerjakan, pasti diminta pertanggung jawaban setelah kita bertemu dengan Sang Pencipta nanti. (*)
Madinah, 11 Mei 2022
Oleh : La Nyalla Mahmud Mattalitti (Ketua DPD RI)