Petani Lamongan Peroleh Manfaat dari Pengendalian Hama Terpadu
LAMONGAN,SKO.COM– Hama dan penyakit tanaman memang menjadi masalah sendiri dalam usaha tani. Untuk mengatasinya petani kerap menggunakan pestisida kimiawi ketimbang pestisida nabati. Padahal dalam jangka panjang justru berdampak negatif bagi lingkungan.
Abdul Haris Suhud kini bisa lebih tenang dalam berusaha tani. Selama ini tanaman padi miliknya kerap gagal panen karena serangan hama wereng cokelat dan kepinding tanah. Pengalaman pahit petani yang tinggal di Lamongan, Jawa Timur ini membawanya belajar dan menekuni Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Hingga akhirnya Abdul Harus memperoleh beberapa keuntungan dari belajar PHT. Kini ia dan petani dalam kelompok taninya mantap untuk terus menerapkan PHT dalam usaha tani. Dengan PHT, petani dapat menghasilkan pangan yang sehat dengan biaya yang efisien dan produksi yang lebih tinggi.
“Pengalaman pahit kami gagal panen karena serangan hama wereng cokelat dan kepinding tanah, telah menuntun kami untuk belajar menekuni PHT,” ujar Abdul Haris. Ada banyak keuntungan yang petani dapat dari menerapkan PHT. Antara lain, efisien biaya produksi, hasil produksi meningkat, serta produk dan lingkungan lebih sehat.
Dari hasil kajian, pemanfaatan pestisida alami memiliki sejumlah keuntungan bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Keunggulan ini bersifat jangka panjang dan hampir tidak dimiliki pestisida sintesis atau kimiawi. Dalam UU No 12 tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan juga mengatur perlindungan pertanian dilaksanakan dengan sistem pengelolaan hama terpadu.
Karena penggunaaan pestisida kimiawi bisa berdampak pada kesehatan manusia, Kementan tidak lagi menganggarkan bantuan pestisida kimiawi. Ini merupakan bukti keberpihakan pemerintah berperan pada lingkungan. Pelaksanaannya menjadi tanggung jawab semua pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, petani, pelaku usaha hingga masyarakat.
Menurut Guru Besar Departemen Proteksi Tanaman IPB, Prof. Dadang, secara umum pestisida alami mudah terurai dan aman untuk manusia. Resistensi pada hama tergolong lambat dan senyawanya bersifat sinergis. Artinya jika ditambah dengan ekstrak lain bisa berdaya guna berkali lipat.
“Penggunaan insektisida alami kompatibel dengan strategi lain dalam PHT. Utamanya, pestisida alami bisa dibuat sendiri,” ujarnya. Pestisida alami lanjut Dadang, sudah lama digunakan, bahkan konon sejak 3000 SM yakni menggunakan bawang putih, ampas zaitun dan mentimun liar.
Menurutnya, ekstrak azadirakhtin dari tanaman mimba dan pestisida alami yang pertama kali dimanfaatkan tahun 1960-an, mulai dilirik lagi sejak 1985. Mimba sudah lama digunakan sebagai bahan pestisida alami. Hampir semua bagian tanaman ini bisa digunakan, terutama biji. “Manfaatnya sangat baik itu berbagai jenis hama mulai dari larva kumbang, penggerek batang, wereng, kepik, thrips, lalat buah, kutu perisai, tungau dan beberapa OPT lainnya,” papar Dadang.
Perjalanan panjang PHT
Perjalanan panjang PHT di Indonesia juga diungkapkan sesepuh yang juga pelaku sejarah PHT, Sutarto Alimuso. Mantan Dirjen Tanaman Pangan itu mengatakan, PHT di Indonesia kelahirannya berawal dari adanya ledakan serangan wereng coklat pada tanaman padi. Bahkan dalam perjalanannya telah mampu mengendalikan keberadaan serangan hama tersebut serta hama dan penyakit lainnya.
“Pelaksanaan PHT di Indonesia telah berhasil mengendalikan ledakan serangan beberapa OPT tanaman pangan seperti wereng cokelat, belalang kembara, penggerek batang padi, dan lain-lain,” katanya. Untuk saat ini Sutarto menilai, PHT masih sangat relevan untuk terus diterapkan sebagai sistem pengelolaan OPT. Guna mendorong produk pangan yang berdaya saing dengan kuantitas dan kualitas tinggi serta kontinyu. “Kita tidak dapat meninggalkan PHT,” tegasnya.
Namun Sutarto melihat, tantangan PHT ke depan adalah bagaimana dapat bersinergi dengan baik antar semua stakeholder dan dapat menyambungkan sistem PHT dengan kebijakan bidang pertanian saat ini. Sebut saja, program IP 400, LTT dan lain-lain agar PHT tetap dapat menjiwai setiap usaha produksi pangan, sehingga produksi pangan tetap tinggi dan berkelanjutan, serta dapat mencapai kedaulatan pangan nasional.
Pakar PHT yang juga pengajar di Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman Universitas Brawijaya, Gatot Mudjiono juga menganggap PHT ke depan harus dapat menjawab pertanyaaan-pertanyaan yang merupakan tantangan zaman. “Sistem PHT ke depan harus meningkat tidak hanya mengendalikan OPT namun harus dapat mengelola OPT dan agroekosistemnya,” tuturnya.
Dengan demikian menurut Gatoto, PHT harus dapat menjawab beberapa hal. Pertama, mengapa agroekosistem begitu rentan terhadap OPT? Kedua, bagaimana membuat agroekosistem agar lebih tangguh terhadap OPT. “Apabila PHT mampu menjawab tantangan atas pertanyaan tersebut di atas, niscaya PHT ke depan akan lebih tangguh dan mantap sebagai implementasi perlindungan tanaman,” katanya.
Direktur Perlindungan Tanaman Pangan, M. Takdir Mulyadi menegaskan, perjalanan PHT di Indonesia selama 35 tahun telah banyak capaian yang diperoleh dan juga ada banyak tantangan ke depan yang harus dibenahi. Di Indonesia PHT terus berjalan sampai sekarang walau mengalami pasang surut.
“PHT telah ditetapkan dengan tegas di dalam undang-undang sebagai sistem pelaksanaan pelindungan tanaman. Untuk itu kebijakan implementasi kegiatannya perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman,” katanya.( * )