PELAKSANAAN pesta demokrasi di Indonesia belum berhasil mendidik rakyat Indonesia memiliki pemikiran yang egaliter dan dewasa dalam berbangsa dan bernegara meski sudah melewati 26 tahun reformasi. Pandangan ini penulis utarakan melihat dan membaca situasi menjelang Pemilu 2024, terutama setelah pelaksanaan debat calon presiden dan wakil presiden yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Yang terjadi adalah suasana saling caci, merasa benar sendiri, yang lain salah dan mencari kesalahan atau kelemahan yang lain. Tanpa sadar dan introspeksi diri. Padahal dalam kehidupan beragama mengajarkan bahwa menghujat, mencari kesalahan yang lain dan mengolok-olok itu perbuatan tidak baik. Tapi itulah yang terlihat dari debat capres cawapres Pemilu 2024 ini. Mungkin KPU perlu merubah format menjadi bukan debat.
Lucunya, tidak hanya masyarakat awam yang melontarkan pikiran merasa benar sendiri, baik sendiri, terutama melalui media sosial, tetapi calon pemimpin, ilmuwan, bahkan agamawan. Semua melakukannya secara sporadis dan membabi buta. Apakah ini teknik berpolitik untuk mencapai kemenangan? Mungkin KPU perlu merubah format menjadi bukan debat.
A politician needs the ability to foretell what is going to happen tomorrow, next week, next month, and next year. And to have the ability afterwards to explain why it didn’t happen – Winston Churchill
(Seorang politisi memerlukan kemampuan meramalkan apa yang akan terjadi besok, minggu depan, bulan depan, dan tahun depan. Dan setelah itu memiliki kemampuan untuk menjelaskan mengapa hal itu tidak terjadi) – Winston Churchill
Jika kontestan pemilihan umum dan tim suksesnya memiliki pandangan seperti kata Winston Churchill diatas, tentu pesta demokrasi yang terjadi di negeri kita tercinta ini, tidak akan ‘sepanas’ ini, atau menambah dosa pelaku-pelakunya karena selalu melihat sisi negative dari yang berbeda pendapat dan berseberangan pemikiran.
Akan lebih elok jika para kontestan pemilu dan tim suksesnya ini mencari simpati rakyat dengan menebar kebaikan, menjual program kerja untuk membangun bangsa ini lebih baik, bagaimana menyejahterakan rakyatnya, memakmurkan bangsa dan berkeadilan.
Jika melihat kondisi seperti ini, merindukan akan ‘kembalinya’ Pancasila sebagai way of life, sebagai landasan ideologi kehidupan berbangsa dan bernegara bagi Indonesia adalah hal wajar diimpikan. Perubahan undang-undang yang dilakukan selama eforia reformasi ternyata belum membuahkan kebaikkan yang signifikan bahkan setelah 26 tahun berjalan. Korupsi tetap ada bahkan semakin merajarela, ketidakpastian hukum semakin membuat negara banyak ditinggalkan investor, jurang ketimpangan sosial juga semakin tinggi.
Maka penulis sependapat dengan apa yang diperjuangkan Ketua DPD RI, AA LaNayalla Mahmud Mattalitti, yang berharap Indonesia kembali kepada UUD 1945 sesuai aslinya, yang di dalam pembukaannya termaktup juga dasar negara Pancasila. Mungkin ditambah dengan adendum-adendum yang diperlukan sesuai kebutuhan dan kondisi bangsa terkini. “Kalau sejak 1999-2002 bukan amandemen itu tetapi perubahan UUD,” sergah alumnus Universitas Brawijaya Malang itu di satu kesempatan.
Sayang perjuangan LaNyalla belum banyak mendapat perhatian dari legislative, yudikatif maupun eksekutif, walaupun banyak mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat. Atau mungkin ada yang merasa akan kehilangan zona nyaman kalau hal itu dilakukan, meskipun LaNyalla tak pernah lelah memperjuangkannya.
Sejarah disahkannya UUD 1945 tentu juga berbeda dengan era saat ini yang berusaha terus mengubur sedikit demi sedikit buah pikiran para pahlawan-pahlawan kemerdekaan kita yang menelorkan undang-undang untuk kepentingan rakyat dan menempatkan rakyat sebagai penguasa tertinggi melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Saat ini produk undang-undang baru juga belum dirasakan bangsa dan rakyat Indonesia secara signifikan. Sepertinya keberadaaannya hanya untuk memikirkan kepentingan sekelompok tertentu agar bisa menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Dengan menguasai hajat hidup rakyat Indonesia tentu akan mendapat keuntungan yang beribu-ribu kali lipat sementara rakyat masih jauh dari kesejahteraan, apalagi kemakmuran.
Semoga Pemilu 2024 menghasilkan pemimpin yang sadar akan kondisi bangsa Indonesia saat ini, yang kelihatan jauh api dari panggang untuk mencapai kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial. Semoga juga tidak benar anggapan bahwa yang terasa saat ini kita hanya mendapat transformasi demokrasi pinter berdebat saja.