Hukum & Kriminal

Ketentuan Novum Harus Didetailkan

Share Berita:

SURABAYA, PEWARTAPOS.COM – Berbagai persoalan hukum yang bisa berbau ketidakadilan di negeri ini, terutama soal Peninjauan Kembali (PK), menjadi sesuatu yang menarik untuk didiskusikan. Nusakom Pratama Institue bekerjasama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur menggelar diskusi terbatas dengan tema Peninjauan Kembali (PK), Mengapa Dibatasi? di Aula PWI Provinsi Jawa Timur, Surabaya, Sabtu (11/6/2022).

Dr. Siti Marwiyah, S.H., M.H (Rektor Universitas Dr. Soetomo Surabaya) dan Amira Paripurna, S.H, LL.M., Ph.D (pakar hukum Universitas Airlangga Surabaya), memaparkan pandangannya terhadap pembatasan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK), dipandu Dr. Ari Junaedi, S.H., M.Si.

Menurutnya, masyarakat bisa memanfaatkan PK untuk mendapat keadilan hukum akibat kesalahan putusan di Mahkamah Agung (MA). Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga negara baru produk reformasi menjadi tumpuan ekspektasi masyarakat yang menginginkan perbaikan dalam penegakan hukum.

Siti menambahkan, unsur politik juga memengaruhi sistem peradilan di Indonesia sehingga beberapa putusan menjadi tidak adil dan diperlukan upaya hukum yang memenuhi unsur keadilan.

Sementara Amira Paripurna menyebutkan, PK seharusnya tidak perlu dibatasi karena dalam beberapa kasus hukum pidana yang terjadi di seluruh dunia, sering terjadi kesalahan atau error.

Alumnus University of Washington School of Law Amerika Serikat ini menambahkan, di Belanda yang menjadi ‘kiblat’ hukum Indonesia, proses PK tidak dibatasi dengan catatan ditemukan novum atau bukti baru yang bisa diajukan dalam persidangan.

Dalam Komite Pembaharuan KUHP memandang pengajuan PK lebih dari satu kali merupakan langkah tepat karena sejalan dengan alasan keadilan dan perlindungan HAM.

“Menurut saya sebaiknya PK ini memang tidak perlu dibatasi dengan alasan setiap tersangka perlu mendapat keadilan seadil-adilnya. Catatannya adalah dibuat kriteria novum dalam perkara tersebut atau ketentuan novum harus didetailkan,” papar Amira Paripurna.

Moderator diskusi yang juga menjabat sebagai Direktur Nusakom Pratama Institute Ari Junaedi sempat menyinggung banyak pencari keadilan gagal menggapai keadilan yang hakiki meski memiliki fakta baru (novum) lantaran harus kandas dengan aturan yang membelenggu. Termasuk di dalamnya ada unsur kepentingan politik dalam pembatasan upaya PK.

PK merupakan salah satu bagian dari upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada esensinya, PK merupakan sarana bagi terpidana atau ahli warisnya untuk memperoleh keadilan dan melindungi kepentingan terpidana.

Mengingat pentingnya PK sebagai upaya mencari keadilan bagi terpidana, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 34/PUU-XI/2013, mempertegas bahwa pengajuan peninjauan kembali pada perkara pidana tidak seharusnya dibatasi jumlah pengajuannya.

Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menguraikan permintaan PK hanya dapat dilakukan satu kali saja, menurut MK tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Kasus-kasus yang menyita perhatian publik karena kontroversi pembatasan PK diantaranya kasus kopi sianida Jessica, kasus pengambilalihan lahan penduduk oleh perusahaan di Surabaya. (joe)


Share Berita:
Tags
Show More

Related Articles

Back to top button
Close
Close