SEJARAH yang terkonteks pada kajian sosok tokoh pada zamannya, tidak lain keberadaan sejarah lokal memberikan sajian nilai-nilai moral. Berdasarkan fakta dan realitas ketika observasi, bahwa makam Ki Ageng Sengguruh berada pada administrasi pemerintahan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung, Propinsi Jawa Timur. Peran penting pendokumentasian Ki Ageng Sengguruh, terutama kaitannya dengan jejak-jejak sejarahnya. Sebagaimana dipahami bahwa para pendahulu memiliki jejak membangun peradaban baik secara lokal maupun luas, disinilah perlunya penyadaran bagi kaum muda untuk bisa mempelajari dan memahami para pendahulunya.
Identifikasi
Ki Ageng Sengguruh keberadaannya dikenal sebagai pembabad wilayah, selain itu warga mengenalnya sebagai tokoh Islam. Makam Ki Ageng Sengguruh berdekatan dengan aliran Sungai Brantas, untuk itu perlunya perhatian khusus, mengingat makam tersebut memberi petunjuk mengenai perkembangan proses pembangunan peradaban Islam di wilayah tersebut.
Lokasi makam Ki Ageng Sengguruh mudah untuk ditemukan, dikarenakan berada di pinggir jalan raya nasional menuju arah Blitar-Tulungagung atau sebaliknya. Tepatnya berada di administrasi Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Kawasan makam Ki Ageng Sengguruh memang tidak nampak apabila sekilas dari jalan raya, namun terdapat gapura yang menerangkan bahwa disitu terdapat makam klasik. Dari jalan raya sekitar 100 meter untuk bisa menuju ke kawasan makam, nanti akan nampak gapura sebagai pintu masuk ke kawasan makam.
Makam sosok tokoh Islam tersebut, Ki Ageng Sengguruh, sendiri berada di posisi paling utara berdekatan dengan aliran Sungai Brantas. Nampak makam klasik selain itu bentuk nisan serta kijingannya menggunakan batu andesit. Berada pada ruangan sendiri, makam Ki Ageng Sengguruh memang nampak bercorak berbeda dari makam-makam yang lain, dikarenakan makam lainnya merupakan makam umum.
Meskipun demikian, sosok Ki Ageng Sengguruh menurut tradisi tutur lisan warga sekitar makam, merupakan tokoh Islam yang memiliki jasa dalam pembangunan peradaban di lingkungannya. Namun berdasarkan referensi yang ada, bahwasanya bisa dimungkinkan nama Sengguruh dulunya ada sebuah nama kerajaan kecil, atau nama suatu daerah. Tentunya memiliki nama asli, selain nama panggilan Ki Ageng Sengguruh.
Makam tersebut memang menjadi tempat ziarah bagi yang mengetahui kalau di kawasan makam terdapat sosok tokoh klasik. Biasa seperti hari Kamis sore (Malam Jum’at) sering di ziarahi oleh berbagai khalayak warga, baik dari warga sekitar maupun dari warga luar daerah. Disinilah seharusnya potensi yang ada dapat mendukung keberadaan makam-makam bersejarah tersebut. Selain sebagai situs sejarah, bisa dijadikan wisata religi sebagai bentuk wawasan pengetahuan sejarah lokal.
Tidak terlepas dari adanya keberagaman tradisi tutur lisan dari berbagai nara sumber, keberadaan makam Ki Ageng Sengguruh memang memiliki daya tarik tersendiri. Selain dapat ditinjau dari aspek antropologi, sejarah, agama, dan lain sebagainya patut untuk diobservasi lebih mendalam. Ki Ageng Sengguruh yang makamnya berada di kawasan Rejotangan, Tulungagung, sudah sepatutnya didokumentasikan dengan baik. Berbagai kisah yang ada tentu menambah khazanah jejak-jejak sejarahnya.
Penelusuran Jejak Ki Ageng Sengguruh
Butuh kerja ekstra untuk bisa menemukan sumber-sumber data mengenai sosok Ki Ageng Sengguruh. Betapa pentingnya penarasian terkait sosok satu ini, selain itu dibutuhkannya narasi juga diperlukannya pendokumentasian terkait makam dan peninggalannya. Baik petilasan maupun kebudayaan yang ditinggalkannya tentu memiliki nilai-nilai kearifan lokal.
Tahun 2018 kemarin mendapatkan buku Atlas Wali Songo, selain menambahkan koleksi buku, juga menjadi bahan kajian berikutnya referensi mengenai sejarah lokal yang terdapat di daerah Tulungagung. Setelah membaca-baca buku tersebut, terpaku dan berpikir lebih mendalam lagi terkait sebuah kata yang tertuliskan SENGGURUH. Selama ini yang diketahui bahwa Sengguruh merupakan situs bersejarah yang berada di Rejotangan.
Didalam buku tersebut terdapat enam kali penyebutan kata Sengguruh, dalam benak terdiam dan berpikir secara sekilas, apakah Sengguruh yang dimaksud adalah Ki Ageng Sengguruh? untuk itu beberapa paragraf dalam buku karangan Agus Sunyoto saya kutip dan sedikit analisis yang saya lakukan. Di bawah ini beberapa paragraf yang saya maksud tersebut.
Pandangan Hasan Djafar tentang keruntuhan Majapahit akibat perang suksesi yang berpuncak pada peristiwa penyerangan Dyah Ranawijaya Girindrawardhana ke ibukota Majapahit, sedikitnya terbukti dengan terpecahbelahnya kekuasaan Majapahit menjadi kadipaten-kadipaten kecil yang terbebas dari kekuasaan Majapahit. Jika pada masa kekuasaan Sri Prabu Kertawijaya pada tahun 1447-1451 Masehi wilayah utama Majapahit yang terpantau masih sekitar 24 negara daerah yang merupakan nagara sakawat-bhumi (negara vassal) seperti, Daha, Kahuripan, Jagaraga, Pajang, Tanjungpura, Mataram, Pajang, Wengker, Kabalan, Tumapel, Singhapura, Kertabhumi, Kembangjenar, Lumajang, Wirabhumi, Matahun, Keling, Pandansalas, Paguhan, Kalingapura, Pamotan, Lasem, Pakembangan, dan Pawanuhan, maka pada masa akhir Majapahit di bawah kekuasaan keturunan Girindrawardhana, telah bermunculan wilayah-wilayah baru seperti Demak, Pengging, Giri, Sengguruh, Tepasana, Garudha, Surabaya, yang kemudian disusul munculnya kadipaten-kadipaten gurem seperti Japara, Samarang, Kendal, Pati, Tuban, Siddhayu, Gresik, Pamadegan, Arosbaya, Sumenep, Puger, Babadan, Macan Putih, Pasuruhan, Kedhawung, Dengkol, Banger, Proppo, Gerongan, Gending, Panjer, Keniten, Srengat, Jamunda, Hantang, Pamenang, Balitar, Rawa, Kampak, Pesagi, Mahespati, Pasir, Uter, Wirasari, Wedi, Taji, Bojong, Juwana, Batu Putih, Gumena, Tedunan, Jaratan, Kajongan, Pati, dan Rajegwesi, yang satu sama lain mengaku penerus Majapahit sehingga sering pecah peperangan di antara mereka.
Sementara itu, sejak ibukota kerajaan dipindah ke Daha-Kadhiri, Majapahit berangsur-angsur terkucil menjadi negara agraris yang terkunci di daratan (land-locked) dan tidak mampu berkembang. Pelaut-pelaut Portugis yang datang pada awal abad ke-15 Masehi masih mencatat bahwa Majapahit sebagai kerajaan masih disebut-sebut orang di pedalaman Daha (Sunyoto, 2017: 111-112).
Sementara itu, saat Arya Menak Sumendi mangkat pada masa Rani Suhita berkuasa, ia digantikan oleh Adipati Lumajang Arya Tepasana. Adipati Lumajang Arya Tepasana dikisahkan memiliki tiga orang putra dan tiga orang putri. Putrinya yang bernama Nyimas Ayu Tepasari diperistri oleh Sunan Gunungjati, yang menurunkan Pangeran Ratu yang menjadi leluhur sultan-sultan Cirebon. Putri bungsunya, Nyimas Ayu Waruju diperistri Raden Mahmud Pangeran Sapanjang putra Raden Rahmat Sunan Ampel, menurunkan Nyai Wilis, di mana Nyai Wilis diperistri oleh Raden Kusen Adipati Terung, putra Arya Damar Palembang. Dari perkawinan Nyai Wilis dan Raden Kusen Adipati Terung lahir Pangeran Arya Suradireja Adipati Palembang, Pangeran Arya Terung Adipati Sengguruh, Pangeran Arya Balitar Adipati Blitar, dan Pangeran Singhasari.
Keturunan Nyai Wilis dengan Raden Kusen Adipati Terung inilah yang diketahui dan tercatat dalam sejumlah serat kekancingan menjadi adipati-adipati dan bupati-bupati muslim di Jawa semenjak era akhir Majapahit hingga era Kolonial Hindia Belanda sampai era awal kemerdekaan Indonesia sebagaimana termaktub dalam Sedjarah Regent Soerabaja, Serat Dharah Tedhak Arja Damar Palembang, Tedhak Dermayudan, Tedhak Poesponegaran, Babad Sembar, Stamboom en Geslacht Register van de Regenten van Sidajoe en Grisse dan register Burgerlijk Stand van de Regenten van Grisse dalam Koninglijk Besluit 15 September 1916 No. 20 (Sunyoto, 2017: 134-135).
Kalau mentilik dari keterangan pada cuplikan di atas, bahwa keberadaan Sengguruh saat ini yang ada di sebelah barat Blitar. Dikenal dengan sebutan Ki Ageng Sengguruh, pada awalnya seperti yang ditulis dalam Babad dan Sejarah Tulungagung (1971) keberadaan daerah Ngunut hingga ke arah Blitar dahulunya merupakan ikut administrasi Blitar. Namun ketika adanya pembagian wilayah, akhirnya keberadaan Ngunut, Rejotangan, menjadi bagian wilayah Tulungagung. Disini, keberadaan petilasan, makam, Ki Ageng Sengguruh berada di wilayah Tulungagung.
Makam Biting yang dikeramatkan oleh penduduk Lumajang dan keluarga Pinatih di Bali serta keluarga keturunan Bupati Gresik dan Surabaya adalah area pemakaman kuno yang di dalamnya terdapat makam Arya Wiraraja dan putranya, Arya Menak Koncar, yang menurut naskah Tedhak Poesponegaran, adalah leluhur dari para bupati trah Terung, Ampel Denta, dan Lumajang. Itu berarti, di area makam kuno itu kemungkinan terdapat pula makam Arya Wangbang Pinatih, Arya Wangbang Pinatih II, Arya Menak Sumendi, Arya Tepasana, beserta makam keturunannya seperti klan Arya Pinatih, trah Adipati Sengguruh, trah Pangeran Ratu Cerbon. Namun akibat lama tidak terurus, hanya makam Arya Wiraraja dan makam Arya Wangbang Menak Koncar saja yang masih dikenali dan diziarahi oleh penduduk dan para putra wayah raja-raja Lumajang. Makam-makam yang lain tidak diketahui.
Bahkan atas dasar alasan supaya tidak dirusak penduduk sekitar yang fanatik, makam Arya Menak Koncar diubah menjadi makam Sayyid Abdurrahman Basyaiban. Begitulah area makam kuno yang terletak di dusun Biting (benteng), Desa Kutorenon, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lumajangitu sampai saat ini masuk ke dalam situs purbakala yang dilindungi Negara dan dijadikan pusat peziarahan, terutama oleh umat Islam dan umat Hindu yang merasa keturunan raja-raja Islam Lumajang (Sunyoto, 2017: 135).
Pada akhir abad ke-15, Kerajaan Majapahit terpecah-belah dan diikuti peperangan berebut kekuasaan dari wangsa-wangsa yang mengaku sebagai trah Majapahit di berbagai kerajaan kecil seperti Kahuripan, Tumapel, Lasem, Pajang, Mataram, Daha, Blambangan, Pamotan, Keling, Kabalan, Singhapura, Pawanuhan, Demak, Pengging, yang kemudian diikuti munculnya kekuasaan-kekuasaan lebih kecil seperti Kadipaten Garudha, Dengkol, Sengguruh, Puger, Babadan, Tepasana, Pasuruhan, Kedhawung, Tandhes, Surabaya, Giri, Tuban, Banger, Proppo, Gerongan, Gending, Panjer, Keniten, Srengat, Jamunda, Hantang, Pamenang, Balitar, Rawa, Kampak, Pesagi, Mahespati, Pasir, Uter, Wirasari, Wedi, Taji, Bojong, Juwana, Jagaraga, Batu Putih, Gumena, Tedunan, Jaratan, Kajongan, Pati, Rajegwesi yang juga saling berperang satu sama lain. Hal ini telah mengakibatkan pusat-pusat pendidikan keagamaan lama mengalami kemunduran karena dukuh-dukuh tidak terurus (Sunyoto, 2017: 170).
Dalam pertempuran, setelah menghadapi pusaka Giri dan Cerbon yang bisa mengeluarkan tikus dan lebah, giliran peti dari Palembang yang dibuka, yang seketika mengeluarkan suara gemuruh, hujan, serta badai yang melanda Majapahit dan membuat pasukan Majapahit berlarian ketakutan. Barisan santri dikisahkan memperoleh kemenangan besar. Pusaka-pusaka Majapahit diangkut ke Demak setelah selama empat puluh hari ditempatkan di Giri Kedhaton. Adipati Terung, yang tidak lain adalah mertua Raden Jakfar Shadiq, dikisahkan ikut dibawa ke Demak.
Menurut cerita tutur yang disusun Th.G.Th. Pigeaud dalam Literature of Java (1967-1980), naskah Tedhak Pusponegaran, dan dikisahkan pula dalam Serat Kandaning Ringgit Purwaning Ringgit Purwa, sisa kekuatan Majapahit yang terpukul mundur melawan orang-orang Islam itu, bertahan di Sengguruh sebelah selatan Malang, di bawah pimpinan Raden Pramana, anak Patih Mahudara dari Majapahit. Namun, anak Adipati Terung, Arya Terung, dengan memimpin pasukan Demak menyerbu Sengguruh dan berhasil menghalau Raden Pramana beserta sisa kekuatannya keluar dari Sengguruh (Sunyoto, 2017: 351).
Nampak kejelasan, bahwa Sengguruh merupakan nama daerah, seperti yang dijelaskan pada tulisan di atas. Disisi lain, perlu dikaji lebih luas dan mendalam lagi, adalah keberadaan Sengguruh yang berada di administrasi Pemerintahan Rejotangan.
Arya Terung kemudian diangkat oleh Sultan Demak menjadi adipati di Sengguruh dan adiknya yang bernama Arya Balitar diangkat menjadi Adipati Blitar. Kedua wilayah itu dijadikan wilayah bawahan Demak. Sisa kekuatan Majapahit yang tersingkir dari Sengguruh itu, dituturkan masih bertahan cukup lama di kaki Pegunungan Tengger—Semeru di daerah Malang sebelah timur, dalam kekuasaan anak-anak Patih Mahudara, yaitu Adipati Dengkol dan saudaranya yang menjadi penguasa Pasuruan, Menak Supethak (Sunyoto, 2017: 351-353).
Secuil Analisis
Didalam buku Agus Sunyoto (2017) tersebutkan bahwa Sengguruh berada di sebelah selatan Malang, yang didasari dengan peta. Disini diperlukan analisis lebih mendalam lagi, siapakah sebenarnya yang di makamkan di Sengguruh Rejotangan? sampai saat ini belum menemukan sumber teks. Selain itu, keberadaan Sengguruh Rejotangan tidak lain sebagai petilasan yang mampu memberikan nuansa jejak kesejarahan lebih hidup.
Secara kajian sumber bendawi, berdasarkan observasi beberapa kali, mulai dari tahun 2016, sedikit memberikan gambaran, bahwa keberadaan batu nisan dan ruang cungkupnya memiliki eksistensi pada masa klasik. Selain itu, dengan keberadaan jejak sejarah tersebut paling tidak memberi wacana kedepannya mengenai kilasan sejarah lokal berdirinya sebuah kawasan atau wilayah.
Sengguruh, berdasarkan kajian yang dilakukan di atas, bahwa sebuah nama wilayah, yang mana dalam catatan-catatan yang ada dikenal dengan sebutan Ki Ageng Sengguruh, seperti yang dikenal sampai sekarang oleh masyarakat. Perlunya ruang kajian yang lebih fokus berdasarkan sumber teks maupun sumber bendawi, agar memiliki kesinambungan kajian-kajian yang lebih baik.
wallahu a’lam bishawab
Daftar Pustaka : Sunyoto, Agus. 2017. Atlas Wali Songo.