LaNyalla: Para Pendiri Bangsa Menangis Melihat Indonesia Kini
JAKARTA, PEWARTAPOS.COM – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menilai para pendiri bangsa akan menangia jika tahu arah perjalanan Indonesia saat ini. Karena, Indonesia terjerumus dalam kubangan liberalisme kapitalistik, tak seperti cita-cita luhur dan hakiki lahirnya bangsa yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal itu dikatakan LaNyalla saat menyampaikan keynote speech pada acara Sekolah Pimpinan HMI dengan tema “Genealogi Kepemimpinan Bangsa Menuju Era Emas 2045” Pengurus Besar HMI, Kamis (13/1/2022).
Hadir pada kesempatan itu Ketua Umum PB HMI Raihan Airatama, Ketua Pelaksana Pimpinan Sekolah HMI Heno Angkotasan, Sekretaris Pelaksana Pimpinan Sekolah HMI Ali Yusuf Siregar dan para peserta Sekolah Pimpinan HMI.
Menurut LaNyalla, genealogi merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari asal usul sejarah dan warisan budaya suatu bangsa.
“Jika kita berbicara tentang genealogi kepemimpinan bangsa, sudah tentu kita harus membedah bagaimana bangsa ini lahir dan menjadi sebuah negara,” kata LaNyalla.
Senator asal Jawa Timur itu mengajak seluruh hadirin untuk flash back ke belakang.
“Marilah kita mencoba merasakan suasana kebatinan para pendiri bangsa kita. Seandainya mereka berada di tengah-tengah kita hari ini dan melihat bagaimana wajah Indonesia hari ini,” ucapnya.
Untuk melihat lebih dekat cita-cita para pendiri bangsa, LaNyalla membuka rekaman beberapa percakapan para pendiri bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI.
Muhammad Yamin, kata LaNyalla, dengan tegas mengatakan Negara Rakyat Indonesia adalah Pemerintahan Syuriyah, pemerintahan yang didasarkan atas permusyawaratan antarorang berilmu dan berakal sehat yang dipilih atas faham perwakilan.
“Sementara Ki Bagoes Hadikoesoemo mengatakan bahwa kita harus mempersatukan pendapat-pendapat yang bertentangan, sehingga menjadi bulat,” papar LaNyalla.
Dan Mr Soepomo mengatakan, cara mengangkat pemimpin negara itu hendaknya janganlah diturut cara pilihan menurut sistem demokrasi barat, yang menyamakan manusia satu sama lain, seperti angka-angka belaka yang semuanya sama harganya.
Lalu, Bung Karno memungkasi dengan mengatakan, kalau mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
“Itulah sebagian pemikiran para pendiri bangsa yang berada dalam suasana kebatinan yang sama. Pemikiran-pemikiran jernih tersebut lahir karena mereka merasakan bagaimana menjadi bangsa yang terjajah,” tegas LaNyalla.
Menurut LaNyalla, demokrasi Pancasila berbeda dengan Isme-Isme yang ada, seperti liberalisme di barat atau komunisme di timur.
“Demokrasi Pancasila dengan titik tekan permusyawaratan perwakilan adalah jalan tengah yang lahir dari akal fitrah manusia sebagai mahluk yang berfikir dengan keadilan,” urai LaNyalla.
Oleh karena itu, ciri utama dari demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan tertinggi yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini.
“Itulah mengapa pada konstitusi kita yang asli, sebelum dilakukan amandemen pada tahun 1999 hingga 2002, MPR adalah Lembaga
Tertinggi Negara. Karena, MPR adalah perwujudan kedaulatan rakyat dari semua elemen bangsa ini, baik elemen partai politik, elemen daerah-daerah dan elemen golongan-golongan. Utusan Daerah adalah representasi seluruh daerah dari Sabang sampai Merauke. Harus ada wakil-wakil dari daerah, meskipun daerah tersebut terpencil, terisolasi secara sosial-kultural, daerah khusus dan sebagainya,” ucapnya.
Menurutnya, tahun 1999 hingga 2002, bangsa ini melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar dan dilakukan dalam empat tahap. Saat itu terjadi euforia reformasi pasca-tumbangnya Orde Baru.
Dari amandemen itu, MPR tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara. Utusan daerah dan utusan golongan dihapus digantikan Dewan Perwakilan Daerah.
Presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik dan dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga, mandat rakyat diberikan kepada dua ruang politik yaitu kepada parlemen dan kepada presiden. Masing-masing bertanggungjawab langsung kepada rakyat melalui mekanisme pemilu 5 tahunan.
Lantas, kata LaNyalla, di mana konsepsi dasar atau genealogi pola dan sistem kepemimpinan bangsa yang ia sebutkan tadi, dengan prinsip dasar dari demokrasi Pancasila yang semuanya harus terwakili?
“Jawabnya sudah tidak ada lagi. Karena sejak amandemen itu, Indonesia telah secara tegas meninggalkan demokrasi Pancasila menjadi demokrasi Liberal,” katanya.
Untuk itu, LaNyalla meminta Indonesia menyiapkan generasi menuju Indonesia Emas di tahun 2045 di mana pada saat itu terjadi ledakan demografi, di mana penduduk usia produktif mencapai 70 persen dari jumlah total populasi.
“Karena itu, satu-satunya jalan adalah kita harus berani bangkit. Harus berani melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa ini demi Indonesia yang lebih baik, demi masa depan generasi berikut,” saran LaNyalla.(*)