Minyak Goreng Saja Bisa Bikin Repot
INI cerita dari Mbah Warto soal minyak goreng. Minyak goreng ooh minyak goreng. Mbah Warto merasa prihatin dan kasihan kepada Pemerintah sekarang ini, karena harus dibuat pening kepala mengatasi persoalan harga minyak goreng yang tiba-tiba berombak seperti Pantai Laut Selatan sedang mengamuk.
Begitu peliknya, sampai-sampai untuk membeli minyak goreng saja sekarang Mbah Warto harus menunjukkan aplikasi PeduliLindungi atau menunjukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK), iki piye toh? Wong HP saja belum punya, apalagi buka aplikasi. Mbah Warto pun tidak habis pikir. Ada apa sebenarnya ini?
Menurut pemikiran Mbah Warto, orang desa yang sederhana dan tidak pernah mempersulit diri, kalau bahan baku minyak gorengnya ada, bahkan Indonesia penghasil sawit terbesar di dunia, pabriknya ada, tenaga kerjanya ada, persoalan harga minyak goreng, tentu tidak sulit. Apalagi didukung teknologi produksi yang canggih, hargapun bisa ditekan jauh lebih murah karena biaya operasional rendah.
Kalau dikomparasikan dengan komoditi penunjang pangan lain, lombok misalnya, yang harganya kini melambung, tentu sangat berbeda. Karena bahan penyedap masakan itu dipengaruhi banyak faktor, seperti alam, cuaca, musim sampai alat penunjang transportasi.
Terus apa sulitnya ya sehingga membeli minyak goreng saja harus memiliki HP dahulu, pikir Mbah Warto. Dan apa yang membuat minyak goreng menjadi mahal. Pikiran Mbah Warto pun melayang-layang sembari mengingat senandung lagu Koes Plus berjudul Kolam Susu.
Kehadiran Pemerintah untuk mengatasi harga minyak goreng ini tentu diharapkan akan mempermudah masyarakat mendapat barang pelengkap dapur ini dengan gampang dan harga murah. Karena semua bisa dihitung-hitung. Misalnya, 1 kilogram sawit akan menjadi berapa liter minyak, kemudian ongkos produksi dan transportasi berapa? Sudah tentu akan muncul harga.
Pemerintah tinggal mengatur kebijakan bagaimana perusahaan minyak goreng itu bisa berbagi dengan kepentingan dan kebutuhan masyakarat banyak sehingga harga minyak goreng terjangkau. Artinya dibutuhkan empati perusahaan minyak goreng kepada bangsa dan negara. Kata orang Jawa ngono yo ngono tapi ojo ngono (berbuatlah tetapi jangan keterlaluan).
Jika pemikiran sederhana Mbah Warto ini diambil sebagai dasar, maka semua persoalan harga minyak goreng, bahkan yang lain-lain yang mungkin ada, tentu tidak akan ruwet. Tidak perlu harus ada kebijakan aneh-aneh yang mengherankan orang-orang desa yang berpikirnya sederhana dan belum tentu mengerti. (d wahjoeharjanto)