HeadlineNews

PMA 68/2015 Membuka Peluang Perempuan Memimpin PTKN

Share Berita:

JAKARTA, PEWARTAPOS.COM – Perempuan kini memiliki peluang untuk dapat memimpin sebuah Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No 68 tahun 2015.

“PMA No 68 tahun 2015 memberi ruang yang lebih terbuka bagi kepemimpinan perempuan,” tegas Rektor UIN Raden Fatah Palembang, Nyayu Khodijah, di Palembang, Jumat (18/11/2022).

Nyayu mengatakan, saat ini posisi manajerial yang diduduki oleh perempuan masih sangat terbatas. Berdasarkan data BPS per Juli 2021 tercatat, dari 2,82 juta pekerja di jabatan manajerial, perempuan hanya menempati 33,08 %. 

“Kondisi ini tidak jauh berbeda bahkan mungkin lebih buruk pada posisi top manajerial di perguruan tinggi,” terang Guru Besar Psikologi UIN Raden Fatah ini. 

Sebagaimana diketahui, dari 59 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang ada saat ini, baru sembilan lembaga (15,25 %) yang dipimpin perempuan. Namun kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan tahun 2015 yang hanya 1 orang, bahkan juga jika dibandingkan dengan kondisi di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). 

“Saat ini jumlah Rektor perempuan di PTN masih sangat sedikit, yaitu kurang dari 8 persen,” kata Nyayu.

“Peluang untuk menjadi Rektor bagi perempuan jika menggunakan sistem sebelumnya juga yang diterapkan pada PTN sangat kecil, karena untuk menjadi Rektor UIN dipersyaratkan harus guru besar atau profesor, sementara jumlah profesor perempuan masih sangat terbatas,” kata Nyayu.

Saat ini, lanjut Nyayu, guru besar di PTKIN berjumlah 588 orang. Dari jumlah itu, 77 profesor diantaranya perempuan (13 persen). Para profesor ini semua menjadi anggota senat yang berarti jika pemilihan dilakukan oleh senat, maka peluang untuk mendapatkan suara laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.

Sementara Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid Saudi, memberikan penilaian terkait skema pemilihan pimpinan perguruan tinggi keagamaan yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No 68 tahun 2015. Menurutnya, PMA itu sudah sesuai dengan kebutuhan saat ini.

“Pemberlakuan PMA 68 untuk proses pemilihan rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) di lingkungan Kemenag yang mulai berlaku sejak tahun 2015 dinilai sudah on the track dan patut dipertahankan,” tegas Zainut Tauhid Sa’adi di Jakarta, Jumat (18/11/2022). 

“Lahirnya PMA 68 sudah pasti didahului dengan kajian akademis yang matang dan berdasarkan praktik pengalaman yang sudah berjalan selama ini,” sambungnya.

Menurut Wamenag, PMA 68 merupakan solusi jalan tengah yang sangat moderat. Jalan tengah yang dimaksud Wamenag adalah di antara sistem pemilihan rektor yang sangat liberal dan pemilihan rektor yang sangat otoriter. 

“PMA 68 memberikan ruang keterlibatan pihak kampus melalui seleksi penjaringan bakal calon secara terbuka. Juga melibatkan pihak luar melalui Komisi Seleksi (Komsel) untuk melakukan uji kepatutan dan uji kompetensi,” paparnya. 

Posisi Menteri Agama sebagai pengambil keputusan akhir, kata Wamenag, sudah pada tempatnya. Sebab, kedudukan Menteri sebagai wakil pemerintah yang bertanggung jawab dalam urusan pendidikan di lingkungan Kementerian Agama. Hal itupun dilakukan setelah melalui sebuah proses yang cukup transparan, akuntable dan demokratis. 

“Jadi tidak benar kalau hal itu dianggap sebagai kebodohan dan tidak transparan,” tegasnya.

Wamenag menambahkan, perguruan tinggi sebagai intitusi pendidikan harus dikelola secara profesional dan dijauhkan dari praktik-praktik politik partisan yang dapat menimbulkan konflik dan membelah keutuhan warga kampus. Warga kampus harus dibebaskan dari friksi, polarisasi dan kubu-kubuan. 

“Sehingga kampus dapat melaksanakan mandatnya sebagai institusi terhormat yang mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat tanpa ada beban konflik dan perseteruan,” tandasnya.

Perempuan Tidak Kalah

Menurut Linda Hartati, S.Psi. Psikolog di Surabaya, kesempatan perempuan memimpin organisasi pendidikan memang masih dirasa kurang berimbang, apalagi di perguruan tinggi negeri. Padahal kualitas kepemimpinan dan managerial perempuan tidak kalah, bahkan mungkin dalam hal-hal tertentu lebih hati-hati dan teliti.

“Di dalam dunia pendidikan tinggi perlu juga diberikan peluang pemimpin perempuan, seperti yang sudah terjadi di sekolah dasar, sekolah menengah pertama atau pun sekolah menengah atas. Buktinya mereka tidak kalah,” jelas alumnus Psikologi Universitas Surabaya itu.

Untuk itu, tambah Linda yang juga anggota Dewan Pendidikan Surabaya, pemerintah harusnya juga memberi peluang yang sama dalam hal pemilihan pemimpin di perguruan tinggi. Aturan pemilihan pemimpin PTN harus dibuat pembaharuan agar peluang perempuan terpilih menjadi lebih terbuka. Perempuan harus mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki. dan itu nampaknya sudah dilakukan di PTKN melalui Peraturan Menteri Agama No 68 Tahun 2015. (joe/Kemenag RI)


Share Berita:
Tags
Show More

Related Articles

Back to top button
Close
Close