RUU KUHP Sebagai Salah Satu Sarana Menuju Indonesia Emas
Catatan Prof.Dr.H.R.Benny Riyanto ,SH.,M.Hum.,C.N.
PRO dan Kontra terhadap rencana dilahirkannya Undang-undang itu sudah menjadi hal yang biasa di dalam praktik negara demokrasi. Hal yang sama juga terjadi terhadap RUU KUHP.
Ada beberapa kelompok masyarakat sipil yang menghendaki diubahnya beberapa norma dalam RUU KUHP, ada yang menghendaki ditundanya RUU KUHP, bahkan ada yang meminta RUU KUHP dibatalkan.
Di dalam negara demokrasi hal tersebut adalah wajar, namun harus diingat apa yang menjadi urgensitas dilahirkannya RUU KUHP ini, itu yang perlu kita renungkan dan kita perhatikan. Urgensitas perlunya segara dilahirkan RUU KUHP ini ada beberapa argumen:
1) Telah terjadi pergeseran “Paradigma” di dalam ajaran hukum pidana, yaitu dari Paradigma keadilan Retributif (Balas dendam dengan penghukuman badan) menjadi 3 (tiga) paradigma keadilan, yaitu :
a) Keadilan Korektif (bagi pelaku),
b) Keadilan Restoratif (bagi korban),
c) Keadilan Rehabilitatif (bagi keduanya)
2) Amanah beberapa regulasi penting ,
a) TAP II/MPR/1993 tentang GBHN,
b) UU nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan jangka Panjang Nasional, dimana diamanahkan untuk segera mengganti produk hukum kolonial menjadi produk hukum Nasional, mengingat usia KUHP kita sudah 104 tahun, didalam asas hukum dikatakan “Het Recht Hinkt Achter De Feiten Aan” yang diartikan bahwa hukum (hukum tertulis) itu selalu tertinggal dengan fakta peristiwanya, sehingga KUHP yang ada sekarang notabene peninggalan colonial Belanda sudah tidak mampu lagi menjawab kebutuhan hukum saat ini.
3) Secara politik hukum, KUHP yang ada saat ini karena dibuat oleh bangsa kolonial, pasti belum memasukkan nilai-nilai budaya bangsa, apalagi nilai-nilai dasar falsafah negara Pancasila.
4) Merupakan perwujudan Reformasi sistem Hukum Pidana Nasional secara menyeluruh, berdasarkan nilai-nilai Pancasila, budaya bangsa dan prinsip-prinsip HAM yang universal.
Kalau mencermati argument diatas kita sebagai warga bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945, pastilah kita terpanggil untuk melahirkan Undang-Undang produk bangsanya sendiri yang jelas dan pasti akan mendasarkan pada nilai-nilai dasar falsafah negara Pancasila dan dasar Konstitusional nya UUD Negara Republik Indonesia 1945.
Tertundanya pengesahan RUU KUHP ini pada pokoknya karena ada complain terhadap pelaksanaan sosialisasi/pelibatan partisipasi publik dan adanya beberapa Isu Krusial.
Berbicara partisipasi publik, memang secara normative menjadi keharusan karena diatur didalam Pasal 96 UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, namun selama ini Pembentukan Undang-Undang (Pemerintah dengan DPR) sudah dengan gencar melaksanakannya, bahkan melakukan Road Show di ibukota provinsi yang ada baik melalui public hearing maupun seminar ataupun FGD, selain itu juga pembentukan Undang-Undang menerima masukan-masukan dari Kementerian/Lembaga dari masyarakat maupun dari para ahli hukum serta para stake holder lainnya, bahkan yang dilakukan Pembentukan Undang-Undang tersebut sudah memenuhi apa yang dimaksud “Meaningful Participation” atau partisipasi yang bermakna.
Meaningful Participation ini oleh Mahkamah Konstitusi disyaratkan harus memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu:
a) Right to be Heard (hak untuk didengar)
b) Right to be Explained (hak untuk mendapat penjelasan)
c) Right to be Concidered (hak untuk dipertimbangkan)
dari ke 3 (tiga) unsur yang merupakan hak masyarakat tersebut tidak sampai pada Right to be Acomodated, karena pembentukan Undang-Undang itu mendapat masukan dari berbagai pihak, sehingga semua masukan itu pasti melalui mekanisme pembahasan yang ketat, karena pembentukan Undang-Undang pun selalu melibatkan para ahli hukum. Hal inilah yang sering tidak dipahami oleh beberapa kelompok masyarakat sipil, sehingga ada beberapa masyarakat sipil yang protes bahkan demo apabila usulannya tidak diakomodir.
Terkait isu krusial, sebenarnya pemerintah telah banyak mengakomodasi masukan dari masyarakat, sehingga draft yang dimasukkan kembali ke Komisi 3 DPR tanggal 6 Juli lalu, dari 14 isu krusial sudah diakomodir 2 isu, yaitu terkait Advocad curang dan Dokter dan Dokter Gigi yang praktik tanpa ijin, sehingga hanya 12 isu yang menurut Pemerintah perlu dipertahankan sebagai norma dalam RUU KUHP, itupun kemungkinan masih bisa berubah karena belum ada pembahasan lanjutan di DPR.
Mendasarkan pertimbangan diatas, maka RUU KUHP perlu segara disahkan mengingat DPR pada tahun 2022 ini masa sidang nya tinggal 2 kali lagi, selain itu pemerintah sudah melaksanakan “Meaningful Participation”, dan andaikata ada ketidak kelengkapan dari RUU KUHP masih tersedia mekanisme Revisi Undang-Undang, bahkan kalau ada norma yang dianggap keliru masih bisa di uji melalui Mahkamah Konstitusi. (*)