Teknik Kimia Industri ITS Bahas Pentingnya Raih Net Zero Emission
SURABAYA, PEWARTAPOS.COM – Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia Industri (HMTKI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menggelar Industrial Chemical Engineering Talkshow (ICHETS) 2022 pada Minggu (30/10/22). Talkshow ini membahas pentingnya pemahaman mengenai electrical vehicle (EV) atau kendaraan listrik.
Menggandeng Adhe Anggriawan Putra MSc DIC sebagai pemateri, CEO sekaligus Co-Founder dari Inovast Consulting ini menjelaskan, EV merupakan kendaraan yang menggunakan aliran listrik 100 persen dengan menggunakan baterai elektrik yang perlu diisi ulang. Hal inilah yang menjadi topik pembahasan mengenai upaya meraih Net Zero Emission.
“ Mengapa berpindah dari Internal Combustion Engine (ICE) ke EV adalah sebuah solusi? Karena keunggulan utama yang diusung oleh konsep kendaraan listrik dibandingkan kendaraan konvensional adalah rendahnya emisi karbon yang diproduksi. Dan juga dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sehingga ramah terhadap lingkungan,” ujar Adhe.
Adhe juga menambahkan bahwa terdapat sisi gelap dari kendaraan listrik yang jarang menjadi perhatian. Label “aman terhadap lingkungan” ternyata tidak sepenuhnya benar melekat pada kendaraan listrik. Ia pun menemukan bahwa, karbon dioksida yang diemisikan oleh ICE dan EV ini jumlahnya mendekati sama.
“Contohnya seperti penggunaan lithium pada komponen baterai yang dalam proses produksinya masih membutuhkan banyak energi,” jelasnya.
Di sisi lain, ia mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki target untuk memproduksi kendaraan listrik sebanyak 2200 unit di tahun 2030. Adhe menjelaskan bahwa ini merupakan target yang cukup ambisius melihat bahan baku yang memungkinkan harus impor dari luar negeri.
“Dengan kata lain, kita cuma berpindah dari minyak yang diproduksi oleh Amerika ke mineral dan lithium yang di produksi oleh China, tidak ada yang berbeda,” imbunya.
Dengan target tersebut, Adhe merasa hal itu belum sepadan dengan hal-hal yang harus dilakukan terkait pemberlakuan kebijakan terhadap EV di Indonesia. Seperti rendahnya kesiapan untuk membangun stasiun pengisian untuk mobil listrik. Hal ini dapat dilihat bahwa sejauh ini hanya terdapat 240 unit stasiun yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Jumlah ini termasuk sangat sedikit, sehingga menurunkan minat masyarakat terhadap adanya teknologi EV ini,” jelas pria lulusan Teknik Kelautan ini.
Di samping hal itu, melalui hasil riset market yang dilakukan Adhe, terdapat beberapa faktor yang menjadikan Indonesia sebagai pasar yang tepat terhadap pemasaran EV. Menurutnya orang Indonesia lebih menyukai mobil elektrik sebagai kepunyaan pribadi ketimbang yang dijadikan transportasi umum.
Hal ini berkaitan dengan Rise of Middle Class, yaitu tendensi dari membeli sebuah mobil listrik adalah simbol dari ekonomi statis. Lalu, Biaya listrik yang murah, harga listrik per-Kwh di Indonesia relatif lebih murah sehingga melakukan pengisian ulang baterai sebagai pengganti bensin dianggap masih terjangkau.
Sebagai penutup, Adhe mengungkapkan the race has just begun. Kendaraan listrik saat ini masih menjadi lembaran putih dimana siapapun bisa berkontribusi,
“Yang harus kita lakukan adalah menyiapkan diri untuk bisa menghadapi perkembangan yang terjadi di masa depan,” pungkasnya mengakhiri. (iz)