SURABAYA, PEWARTAPOSW.COM – Penolakan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan Tahun 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif (tembakau dan rokok), terus meluas ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk Jawa Timur yang merupakan salah satu daerah sentra tembakau.
“Saya akan pasang badan untuk membela petani tembakau dan cengkeh. Nasib mereka harus diperhatikan dan aturan tersebut sudah jelas akan merugikan para petani tersebut,” kata Anggota Komisi B DPRD Jatim, Agusdono Wibawanto, Kamis (23/11/2023).
Menurut politikus asal Fraksi Partai Demokrat itu, RPP tentang Pengamanan Zat Adiktif jelas akan berdampak pada masyarakat yang mata pencahariannya dari menanam tembakau dan cengleh karena mereka dipaksa beralih ke komoditas lain.
“RPP Kesehatan akan melarang total keberadaan produk tembakau dan turunannya. Hal ini tentu akan merugikan jutaan petani tembakau dan cengkeh,” tegas pria asli Malang ini.
Agus Dono yang juga Caleg DPR RI dari Dapil Malang Raya ini mengungkapkan, di Indonesia ada 2,5 juta lebih petani tembakau dan 1 juta petani cengkeh yang menggantungkan hidupnya dari perkebunan komoditas tersebut.
Jika aturan pengetatan rokok diterapkan, maka sumber penghasilan jutaan petani itu akan hilang. “Padahal bagi para petani tembakau adalah komoditas yang memberikan manfaat ekonomi yang tinggi, baik di daerah maupun nasional, daripada komoditas lainnya,” pungkasnya.
Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Heri Susianto, sebelumnya juga melayangkan kritik terhadap penyusunan RPP tersebut. Menurutnya, apabila RPP itu disahkan, maka berdampak signifikan terhadap Industri Hasil Tembakau (IHT).
“Pasti akhirnya berguguran. Dan kalau (industri) berguguran, akibatnya pasti akan banyak PHK,” jelas Heri Susianto.
Ia mengambil contoh di Kota Malang, dulunya terdapat 367 perusahaan rokok. Namun sekarang hanya tersisa 20 persennya saja atau sekitar 77 perusahaan akibat aturan UU Kesehatan yang mendiskreditkan industri olahan tembakau.
Heri juga mengkritisi wacana kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar rata-rata 10% untuk Tahun 2024. Padahal fakta di lapangan kondisi industri rokok banyak yang gulung tikar sehingga penerimaan CHT juga terus menurun dari tahun ke tahun.
Ditambahkan Heri, sejak penetapan kenaikan cukai multiyear sebesar 10%, target penerimaan cukai sepanjang 2023 masih belum terpenuhi. Bahkan per September 2023, penerimaan cukai hanya tercatat senilai Rp 144,8 Triliun atau turun 5,4% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
“Artinya, kenaikan cukai ini berdampak pada kinerja industri hasil tembakau yang kian melemah,” terangnya.
Pengamat pertembakauan, Lutfil Hakim, juga menyayangkan jika nanti RPP tentang Pelaksanaan UU Kesehatan Tahun 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif jadi disahkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP).
“Itu artinya pemerintah membunuh hajat hidup ribuan petani tembakau dan cengkeh karena di Indonesia kedua komoditas tersebut tumbuh subur dan kualitas bagus. Disamping itu kedua tanaman tersebut sudah tumbuh dan berkembang sejak nenek moyang kita,” ujarnya dengan mimik serius.
Lutfil juga memberikan alasan lain, hasil Cukai Hasil Tembakau (CHT) selama ini memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap pendapatan negara. Tahun 2022 mencapai Rp 218 Triliun. “Jadi jika ada aturan yang membuat CHT turun tentu berpengaruh terhadap pendapatan negara. Belum lagi dampak pengangguran yang akan terjadi,” tegasnya. (joe/sumber: kominfo jatim)